Friday, March 1, 2013

Pada Sebuah Senja di La Plancha


Aku baru selesai memasang sabuk pengaman dan menyamankan posisi duduk di kursi pesawat saat bulir hujan mulai jatuh di luar.  “Wah hujan! untung saja kita udah di dalam!”, serunya sambil mempererat genggaman tangan. Aku hanya tersenyum kecil, mengusap halus punggung tangannya dengan ibu jariku. Meletakkan tas di pangkuanku dan merapatkan tubuhku di sampingnya. Di kursi seberang duduk seorang ibu dan anak kecil, aku menerka itu anaknya yang dari sejak dia duduk tak sedetikpun berhenti bertanya tentang apa yang ditangkap matanya, mungkin ini pengalaman pertamanya naik pesawat, aku bisa melihat dari raut keceriaan di wajahnya, mungkin raut yang sama seperti ketika dia menanti kejutan membuka kado saat ulang tahun. Melihatnya mimiknya seakan dia ikut meniupkan kebahagian pada orang yang melihatnya. Jarak 3 kursi di depanku, berdiri seorang bapak yang masih saja sibuk mengurus koper dan bawaannya, raut mukanya terlihat tenang tapi beberapa kali kulihat mengerutkan dahi, entah dia merasa kerepotan atau perjalanan ini memberatkannya.
Ini kali pertama aku pergi ke luar kota dengannya, dan Bali menjadi tujuan kita. Lelaki di sampingku ini yang meminta. Aku cukup mengiyakannya, bahkan tanpa sebelumnya menanyakan kenapa dia memilih Bali. Aku tidak peduli kemana tujuan kita nantinya, aku hanya peduli melumat habis waktu dan menikmati bersamanya.
Namanya Gama, dia lebih tua satu tahun dariku, kuliah di universitas yang sama denganku hanya beda fakultas, Gama di Fakultas Hukum, dan aku Komunikasi. Semuanya berawal satu  tahun lalu, saat  seorang sahabatku berulang tahun.  Mentraktir teman di hari ulang tahun sepertinya sudah menjadi kebiasaan anak muda yang entah sejak kapan dan bagaimana asalnya.
Matchbox café menjadi pilihannya saat itu, sejujurnya aku tidak lagi suka kafe ini, terlalu banyak kenangan yang ditinggalkan di setiap sudutnya, bahkan hanya mendengar atau melihat nama kafe ini pada selebaran atau baliho di jalanan, bayangan seseorang sudah bisa memenuhi kepalaku dengan mudahnya. Bagaimana tidak, hampir setiap minggu di hari Rabu aku menghabiskan malam dengan seseorang di sana, baiklah, mantan.
Tujuannya hanya untuk menonton live band yang memainkan genre musik favoritnya dan menurutnya itu adalah keharusan, yang bagiku terkadang berlebihan. Selama dua jam itu kita hanya diam menghabiskan waktu, menikmati lagu dengan tangan saling menggenggam, tidak ada obrolan, hanya sesekali bicara untuk memberi tahuku judul lagu yang sedang dimainkan atau meminta pesanan tambahan pada pelayan. Anehnya, aku juga tidak pernah bosan walaupun aku tidak begitu mengerti jenis musik country blues favoritnya, aku justru sibuk menikmati senyuman atau ekspresi mukanya saat mendengar lagu favoritnya, melihat kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama, dan hentakan kakinya yang terkadang tanpa sengaja menginjak kakiku. Bagian favoritku di hari rabu itu adalah ketika mereka memainkan sebuah lagu, Arms of a woman, dan dia ikut menyanyikan lagu itu dengan selalu menatap mataku. Yang selalu aku tunggu adalah bisikan lirik terakhir lagu itu , “she takes me back home” di telingaku, dia menutupnya dengan ciuman lembut di pipiku. Dia bilang lagu itu seperti apa yang dia bisikan, menunjukku sebagai tempat yang melahirkan kenyamanan.
 I am at ease in the arms of a woman.
Although now most of my days are spent alone.
A thousand miles from the place I was born.
But when she wakes me she takes me back home.
Tapi tepat seminggu sebelum satu tahun kita bersama, dia bilang dia berada di puncak kejenuhan dan akhirnya pergi meninggalkan. Perempuan lain memanggilnya pergi. Sejak saat itu aku berhenti menunggunya di depan pintu, tak lagi pula menulis namanya di dinding hati, melepas satu persatu jendela yang dari sana bisa kulihat punggungnya berjalan menjauh, memecah kaca yang masih saja memantulkan bayangannya. Perlahan membuatnya runtuh.
Tapi malam itu aku terpaksa beradu pada kenangan,  akupun tak punya pilihan. Aku hanya meminta duduk di teras, satu-satunya tempat yang aku pikir tidak terlalu banyak membuncah perasaan. Lagipula udara malam dan lampu hias yang dipasang di setiap pilar di luar menarik mataku. Saat itulah aku mengenal Gama, teman SMA sahabatku yang juga datang merayakan ulang tahunnya. Selama 8 bulan saling mengenal, akhirnya aku mencoba memberanikan diri kembali untuk membuka hati. Sekali lagi.
Kamu lihat apa?”, tanyanya mengagetkanku.
Eh? Oh lihat hujan di luar”, jawabku sekenanya, akupun tidak tahu apa yang aku perhatikan di luar jendela.
Aku merebahkan kepalaku di bahunya, dan tanpa perlu meminta jemarinya mulai bermain di rambutku. Menikmati waktu dan penerbangan yang juga menerbangkan harapan-harapanku.  Aku juga masih tidak peduli mau kemana kita hari ini, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengannya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit dari Surabaya, sampailah di Bandara Ngurah Rai, Bali. Para penumpang mulai sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing dan mengantri seperti terburu-buru, tidak sabar ingin cepat turun dan keluar. Akupun, meski aku tidak terburu waktu, tapi entah seperti ada sesuatu  yang mendorongku ingin cepat turun dari pesawat dan berhambur dengan udara di luar sana.
Baliiiiiii!”, dia berseru senang dan mengguncang bahuku gemas saat kaki kita pertama kali memeluk tanah di pulau seribu pura ini.
“Kamu norak!” balasku sambil mencolek ujung hidungnya.
“Tapi tetep sayang, kan?” tanyanya, yang cepat kujawab dengan merebahkan tubuhku ke arahnya, melebur memeluk belakang pinggangnya. Dan senyum penuh kemenangan dengan cepat menggantung di bibirnya.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 16:37, berarti pukul 17:37 waktu Bali. Hiruk pikuk orang-orang mulai sangat terlihat di luar bandara, beberapa orang  bergegas berhambur pada pelukan orang yang sudah menantinya di pintu keluar. Mereka seperti menghabiskan rindu yang selama ini membabakbelurkan perasaan, memulihkan hati yang selama ini lebam dengan pelukan. Aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya, melahirkan syukur di dalam hati, menikmati serangan kenyamanan atas hadirnya.
Kita gak langsung ke hotel dulu ya, gapapa kan?, tanyanya begitu merebahkan tubuh di kursi taksi.
Hmm kemana?”, tanyaku.
Ke pantai, masih bisa waktunya untuk liat sunset”,
“Oh sure, I’d love to!”
“I promise you will”, ucapnya yakin.
Pak, ke La Plancha Seminyak, ya”, ujarnya memberi tahu supir taksi kemana tujuan pertama kita di Bali. Aku sendiri baru kali pertama mendengar namanya, La Plancha, aku hanya menerka kata itu sepertinya adalah bahasa Spanyol yang aku tidak tahu apa artinya. Entah tempat apa atau ada apa di sana dan kenapa dia memilihnya, aku tidak membiarkan diriku menerka lagi, aku pun tidak terlalu peduli, sekali lagi, bersamanya sudah membuatku tak membutuhkan jawaban lagi.
Butuh waktu sekitar 30 menit dari bandara menuju La Plancha, setelah turun aku baru tahu La Plancha adalah sebuah kafe outdoor di sekitar pantai di seputaran Seminyak. Yang menarik, tempat ini dibuat dari kayu-kayu bekas yang dicat berwarna-warni, furniture dan hiasan seperti payung yang disusun berderet di pinggir pantai dan bantal-bantal dengan warna yang juga menyolok mata.
Hari ini suasananya tidak begitu ramai, bantal-bantal besar di pinggir pantai hanya terisi sebagian, kebanyakan dari mereka adalah wisatawan mancanegara yang kulihat tak sedikitpun ada raut keasingan yang tergambar di wajah mereka, seakan tak peduli bahwa mereka tak berasal dari ranah sini, membaur secara alami. Selain duduk di bawah payung dengan bantal besar di pinggir pantai, ada juga teras di lantai dua La Plancha yang agak tertutup rimbunan pohon. Kursi dan meja kayu yang tertata rapi lengkap dengan bantal yang berwarna-warni. Ada beberapa pasangan kekasih di atas sana, mereka terlihat saling berbincang dan bercerita, menikmati hidangan dan riuh tawa berkali-kali  hadir diselanya.
Sayang mau duduk di mana? teras atas atau pinggir pantai?”
Pinggir pantai aja ya?”, aku menanyakan persetujuannya.
Iya, lebih nyaman sepertinya”, dia menyetujuinya.
Pada bantal besar berwarna biru muda aku merebahkan badanku, mengulurkan tanganku meraih tangannya dan menariknya ke sampingku. Menyusupkan kepalaku di dadanya, menyelipkan jemari tanganku di antara jemarinya, mengeratkannya memberikan sensasi nyaman yang mengalir candu ke hati.

 Matahari sepertinya sudah siap berpindah menghangatkan bagian bumi yang lain, menyurutkan cahayanya seperti rela tertelan di garis tengah samudra.
Bagus ya, indah”, ucapku terpana.
Iya, kamu sekarang tau kan gimana rasanya saat aku tatap mata kamu. Oh bahkan lebih indah”
Itu cuma karena mataku pintar memantulkan keindahan yang ada di depanku, kamu”
“Kok kamu pinter gombal sih sekarang, hmm?”, ujarnya mulai menggelitiki pinggangku.
“Iyaa, ampun. Geli!”, aku menarik tangannya, melingkarkannya pada tubuhku, memelukku.
Bibirnya perlahan menyentuh bibirku, aku diam, perlahan memejamkan mata, menikmati getaran yang timbul menggerayangi hati. Membalas kecupannya dengan perlahan, menarik bibirnya dan mengulum lembut. Tidak lagi ada jarak, denyut jantungku kalut berantakan, kurasa rindu-rindu di dalam saling bertabrakan. Menggerayangi setiap titik cinta yang memanjakan rasa, menikmati senja yang memanjakan mata. Di La Plancha.



                                                                                                La Plancha, September 27

No comments:

Post a Comment