Secangkir coffee mocca di depanku masih
belum kusentuh. Jemariku sibuk bermain di antara tombol telepon genggamku.
Tetes hujan mulai bosan memercik di kaca kafe, dimana kamu dan aku masih terkubur
dalam diam. Aku sesekali melihatmu, raut muka yang aku hapal seperti sedang
memikirkan sesuatu. Aku disini denganmu, tapi lamunanku terbawa pada dia yang
merajai hati tanpa aksara, yang seharusnya menghabiskan waktu bersamaku,
menggenggam tangan ini sampai riuh terompet tahun baru mulai menggema dan
sebuah kecup kening sebagai penyempurnanya. Pergantian tahun di kota yang
kebanyakan orang bilang menggapai cinta disana, Jogja, namun kamu justru
melepasnya. Ah ya, kita.
“Aku
melepasmu untuk dia, semoga lengkung pelangi di wajahmu tetap tercipta, walau
bukan untukku. Aku ga mau aku ada di tengah kebahagiaan kalian, promise I’ll be
happy for you guys”.
Ucapmu memecah lamunanku. Kalimat
darimu yang menjadi sebuah tamparan untukku. Tamparan karena telah membagi
perasaanku dengan orang lain. Dan dia, lelaki lain itu justru mendapatkan
tempat yang berlebih di hatiku, dibanding denganmu, lelaki yang seharusnya
berhak atas keseluruhan tempat di hatiku.
Hujan masih menetes malas di luar sana.
Aku sedikit mengumpat dalam hati saat lagu Tears and rain-nya Blunt mengalun lembut.
Kenapa harus lagu ini di saat seperti ini?.
“Maaf,
aku udah berusaha buat jaga perasaanku, tapi aku ga bisa lagi. I love him more
than I’ve loved you. But are you sure about it? are you insane or something?”
Aku yang mencintai lelaki lain, lebih
dari aku pernah mencintai kamu saat kamu masih menjadi alasan atas segala
perasaanku. Ditengah rasa yang seharusnya aku merasa bersalah, ada sedikit rasa
bahagia untuk imajinasi cinta yang tercipta bersama dengannya, lelaki lain itu.
Kau tahu betapa arogannya aku bukan? bahkan mungkin dewa dewi cinta dengan
mudah mengutukku dari atas sana dan memang sudah seharusnya.
“Iya, kamu bisa bilang aku bodoh untuk
lepasin kamu. Tapi aku lebih bodoh kalo memaksakan kamu tidak bahagia denganku.
Masalahnya bukan ada atau tidaknya kamu disisiku, tapi ada atau tidaknya
kebahagian yang aku ciptain buat kamu”.
Ucapanmu harusnya membuatku tersadar
bahwa mungkin Tuhan tidak menciptakan orang dengan hati yang sama sepertimu
lagi untukku. Bahwa mungkin, Tuhan tidak memberikanku lelaki yang sama
sepertimu untuk kedua kalinya.
“I can’t be good enough to give you a
happiness and I really want you to be happy, even I’m not the part of it.”
For a God’s sake, lelaki macam apa
kamu? Ketika aku meninggalkanmu untuk memilih lelaki lain yang menjadi
jawabanku tentang cinta. Kamu tetap berada disana, di tempatmu mencinta dengan
setia. Bukankah ini tak adil ketika kamu bersedia menunjukkan semesta cinta dan
aku sama sekali tak peduli melihatnya?
Dan bodohnya, masih dengan cinta yang
sama. Sorry I have to say that you’re the stupid one. Stupid for keep on
standing in the same place, praying for the same hope. A hope to be together,
us. Kamu bodoh untuk menyiakan ribuan cinta yang pernah kau jumpa pada mereka,
perempuan-perempuan lain yang siap mendambamu penuh asa.
Kamu bodoh, namun aku masih lebih
bodoh, untuk tidak melihatmu yang telah menghujaniku ribuan cinta, untuk tidak
sedikitpun peka atas semua serpihan luka yang kamu rasa.
Teruntuk kamu yang hatinya tercipta
dari ribuan doa para malaikat surga, pernah kuherankan berapa lama Tuhan
habiskan waktu untuk menciptamu, saat lapisan langit serta semesta raya memuja.
Maaf, mungkin hanya kata itu yang
pantas berada diatas semuanya.
Maaf.