Saturday, July 20, 2013
Wednesday, May 15, 2013
Untitled
Secangkir coffee mocca di depanku masih
belum kusentuh. Jemariku sibuk bermain di antara tombol telepon genggamku.
Tetes hujan mulai bosan memercik di kaca kafe, dimana kamu dan aku masih terkubur
dalam diam. Aku sesekali melihatmu, raut muka yang aku hapal seperti sedang
memikirkan sesuatu. Aku disini denganmu, tapi lamunanku terbawa pada dia yang
merajai hati tanpa aksara, yang seharusnya menghabiskan waktu bersamaku,
menggenggam tangan ini sampai riuh terompet tahun baru mulai menggema dan
sebuah kecup kening sebagai penyempurnanya. Pergantian tahun di kota yang
kebanyakan orang bilang menggapai cinta disana, Jogja, namun kamu justru
melepasnya. Ah ya, kita.
“Aku
melepasmu untuk dia, semoga lengkung pelangi di wajahmu tetap tercipta, walau
bukan untukku. Aku ga mau aku ada di tengah kebahagiaan kalian, promise I’ll be
happy for you guys”.
Ucapmu memecah lamunanku. Kalimat
darimu yang menjadi sebuah tamparan untukku. Tamparan karena telah membagi
perasaanku dengan orang lain. Dan dia, lelaki lain itu justru mendapatkan
tempat yang berlebih di hatiku, dibanding denganmu, lelaki yang seharusnya
berhak atas keseluruhan tempat di hatiku.
Hujan masih menetes malas di luar sana.
Aku sedikit mengumpat dalam hati saat lagu Tears and rain-nya Blunt mengalun lembut.
Kenapa harus lagu ini di saat seperti ini?.
“Maaf,
aku udah berusaha buat jaga perasaanku, tapi aku ga bisa lagi. I love him more
than I’ve loved you. But are you sure about it? are you insane or something?”
Aku yang mencintai lelaki lain, lebih
dari aku pernah mencintai kamu saat kamu masih menjadi alasan atas segala
perasaanku. Ditengah rasa yang seharusnya aku merasa bersalah, ada sedikit rasa
bahagia untuk imajinasi cinta yang tercipta bersama dengannya, lelaki lain itu.
Kau tahu betapa arogannya aku bukan? bahkan mungkin dewa dewi cinta dengan
mudah mengutukku dari atas sana dan memang sudah seharusnya.
“Iya, kamu bisa bilang aku bodoh untuk
lepasin kamu. Tapi aku lebih bodoh kalo memaksakan kamu tidak bahagia denganku.
Masalahnya bukan ada atau tidaknya kamu disisiku, tapi ada atau tidaknya
kebahagian yang aku ciptain buat kamu”.
Ucapanmu harusnya membuatku tersadar
bahwa mungkin Tuhan tidak menciptakan orang dengan hati yang sama sepertimu
lagi untukku. Bahwa mungkin, Tuhan tidak memberikanku lelaki yang sama
sepertimu untuk kedua kalinya.
“I can’t be good enough to give you a
happiness and I really want you to be happy, even I’m not the part of it.”
For a God’s sake, lelaki macam apa
kamu? Ketika aku meninggalkanmu untuk memilih lelaki lain yang menjadi
jawabanku tentang cinta. Kamu tetap berada disana, di tempatmu mencinta dengan
setia. Bukankah ini tak adil ketika kamu bersedia menunjukkan semesta cinta dan
aku sama sekali tak peduli melihatnya?
Dan bodohnya, masih dengan cinta yang
sama. Sorry I have to say that you’re the stupid one. Stupid for keep on
standing in the same place, praying for the same hope. A hope to be together,
us. Kamu bodoh untuk menyiakan ribuan cinta yang pernah kau jumpa pada mereka,
perempuan-perempuan lain yang siap mendambamu penuh asa.
Kamu bodoh, namun aku masih lebih
bodoh, untuk tidak melihatmu yang telah menghujaniku ribuan cinta, untuk tidak
sedikitpun peka atas semua serpihan luka yang kamu rasa.
Teruntuk kamu yang hatinya tercipta
dari ribuan doa para malaikat surga, pernah kuherankan berapa lama Tuhan
habiskan waktu untuk menciptamu, saat lapisan langit serta semesta raya memuja.
Maaf, mungkin hanya kata itu yang
pantas berada diatas semuanya.
Maaf.
Tidak (Perlu) Terjawab
Rintik
hujan menghujam lebat membasahi bumi secara tiba-tiba. Terpaksa aku berlari
cepat mencari tempat untuk berteduh. Sebuah toko sepatu yang sudah tutup
menjadi pilihanku. Ah, seharusnya aku lebih cepat memilih buku di tempat tadi,
sesalku dalam hati. Aku melirik jam di tangan kiriku, pukul 7.45, berarti sudah
3 jam aku di sana namun tak juga kutemukan buku yang kucari. Berada di antara
ribuan tumpukan buku-buku usang menjadi hal kedua yang dapat membuatku terlena
oleh waktu, setelah yang pertama adalah bersamamu. Dua aroma yang selalu saja
bisa menyesakkan nafasku, pertama untuk tubuhmu dan yang kedua berupa aroma
buku saat lembaran-lembaran usang itu bermain di sela jemariku.
Percikan
air hujan nakal membuat bajuku sedikit basah. Angin yang bertiup lembut
membuatku semakin kedinginan. Andai saja ada kamu disini bersamaku, aku perlu
pelukmu untuk menghangatkanku dan sedikit membuatku nyaman. Apa lebih baik
kucoba untuk menghubungimu?
085655573118
Nomor
yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Tidak
aktif? Lagi-lagi kamu tak bisa kuhubungi ketika aku butuh kamu, setidaknya aku
perlu kamu untuk menghabiskan sisa malam ini bersama, berbagi cerita atau
cinta. Sudah 3 hari kita menahan rindu karena tidak bertemu bukan?.
Berulang
kali aku melirik jarum jam yang kurasa berdetak lambat, berbeda dengan hujan
yang menerpa tanah semakin cepat. Pikiranku masih saja melayang ke arahmu,
menduga-duga apa yang sedang kamu lakukan di luar sana saat aku butuh kamu, seperti
sekarang. Aku mulai berimajinasi tentangmu yang datang menyelimutiku dengan
jaket jeans hitam favoritmu, mengusap telapak tanganmu pada lenganku untuk
sekedar membuatku hangat dan menggenggam jemariku erat.
Cipratan
air dari mobil yang baru saja lewat seketika membuyarkan lamunanku. Aku ingin
mengumpat, tapi aku tahu itu tak akan berarti apa-apa, membuang sisa energiku
sia-sia. Ah lebih baik kucoba menghubungimu lagi.
085655573118
Aku
hapal nomor teleponmu di luar kepala, tanpa harus mencoba mengingatnya.
Nomor
yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Aku
mencobanya sekali lagi, tidak ada dering disana dan kalimat operator masih saja
sama. Tidak aktif. Sudah 1 jam 5 menit berlalu dan masih saja tidak aktif?
tidak biasanya kamu mematikan handphonemu.
Mataku
tertuju pada neonbox sebuah kafe di ujung jalan. Kuputuskan untuk berteduh di
sana karena hujan masih saja belum mau berdamai dengan tanah. Kupercepat
langkahku, sedikit berlari menuju kesana. Mungkin aku bisa menghubungimu lagi
dan meminta sedikit waktumu untuk menghabiskannya bersamaku di kafe itu.
Seorang
pelayan berambut pendek membukakan pintu dan tersenyum, memilihkan tempat duduk
di dekat jendela untukku. “Terima kasih”, ucapku dan sekilas senyum sebagai
balasannya.
Belum
sempat aku melangkahkan kaki menuju tempat yang dipilihnya, mataku terpaku pada
sosok lelaki yang kukenal di sudut kafe. Dia, yang aku tunggu menyalakan
handphonenya dan menghabiskan malam bersamaku ada disana, menggenggam jemari
tangan perempuan lain yang ada di sampingnya. Ada air mata yang jatuh tiba-tiba
tanpa aku harus memberi aba-aba. Ada ribuan sesak yang menyelimutiku di dalam
dada. Aku perlu jemarimu untuk mengusap air mata di pipiku, tapi kamu lebih
memilih menggenggam jemarinya. Aku perlu meyakinkanmu bahwa aku adalah
satu-satunya, tapi kamu disini lebih memilih meyakinkannya bahwa dia adalah
segalanya.
Sekarang
aku tau, alasan kamu tak bisa berada bersamaku dan mematikan handphonemu untuk
panggilan dariku yang sepertinya tidak perlu terjawab. Seharusnya aku tidak
perlu menangis, langit tau aku bersedih dan menggantikannya untukku.
Surabaya,
16 Februari 2012
Terinspirasi
oleh Faizal Reza (Tidak Terjawab)
http://t.co/mzGEvY8x
For Women Who Are Difficult To Love
you are a horse running alone
and he tries to tame you
compares you to an impossible highway
to a burning house
says you are blinding him
that he could never leave you
forget you
want anything but you
you dizzy him, you are unbearable
every woman before or after you
is doused in your name
you fill his mouth
his teeth ache with memory of taste
his body just a long shadow seeking yours
but you are always too intense
frightening in the way you want him
unashamed and sacrificial
he tells you that no man can live up
to the one who lives in your head
and you tried to change, didn't you?
closed your mouth more
tried to be softer
prettier
less volatile, less awake
but even when you sleeping
you could feel him traveling away from you in his dreams
so what did you want to do love
split his head open?
you can't make homes out of human beings
someone should have already told you that
and if he wants to leave
then let him leave
you are terrifying
and strange and beautiful
something not everyone knows how to love
Warsan Shire
and he tries to tame you
compares you to an impossible highway
to a burning house
says you are blinding him
that he could never leave you
forget you
want anything but you
you dizzy him, you are unbearable
every woman before or after you
is doused in your name
you fill his mouth
his teeth ache with memory of taste
his body just a long shadow seeking yours
but you are always too intense
frightening in the way you want him
unashamed and sacrificial
he tells you that no man can live up
to the one who lives in your head
and you tried to change, didn't you?
closed your mouth more
tried to be softer
prettier
less volatile, less awake
but even when you sleeping
you could feel him traveling away from you in his dreams
so what did you want to do love
split his head open?
you can't make homes out of human beings
someone should have already told you that
and if he wants to leave
then let him leave
you are terrifying
and strange and beautiful
something not everyone knows how to love
Warsan Shire
Friday, May 10, 2013
Don't fall in love with people like me...
Don't fall in love with people like me
With the lonely ones, we will forget our names
If it means learning yours, we will make you think
That hurricanes are gentle, that pain is a gift
You will get lost in the desperation, in the longing of something that's always reaching
But...
Never able to hold
Alonesomes
Friday, March 15, 2013
Get back on track and go!
"Once you felt that your heart's broken, felt that you no longer have any special reasons to move forward, felt that your colorful days turned into the black-and-white one or else. I tell you be hurt. I know its never easy, never will be. But once again, be hurt".
That really makes you want to throw something right on someone's face when s/he easily telling you that right? even we clearly know what actually s/he meant is s/he doesnt want us to drown for more in the sea of sadness. Well at least that happened to me. I coudln't even remember how did I get those words in my mind to convince my-another -me about brokenhearted.
I just want another me to know that its totally normal being hurt. I just want another me to realise that its totally ok not to feel ok, denying my own feeling will set everything harder for me. Being bitter and avoid not to take or do something that might make me happy as a punishment. My own punishment of rejected, unwanted and failed. Silly? I know.
And this post might sound like an expression of desperation, a deep one. No it's not, for me its really not. I've learned many things from this phase, a phase that everyone should realise that if you want something then you really have to fight for it, struggle for it. A phase about giving your heart a break but hey doesn't always mean you have to be a pathetic one, self. I learned that every wrong prick will lead you to the right one, at least you have a new clue to get better, to have better. You won't get lost as long as you keep your faith.
As I read somewhere "In the future, happy occasions will come as surely as the morning. Difficult times will come as surely as the night. To say the words 'love and compassion' is easy. But to accept that love and compassion are built upon patience and perseverance is not easy."
I've already learned mine, time to get back on track and walking my own path.
Friday, March 1, 2013
Pada Sebuah Senja di La Plancha
Aku
baru selesai memasang sabuk pengaman dan menyamankan posisi duduk di kursi
pesawat saat bulir hujan mulai jatuh di luar.
“Wah hujan! untung saja kita udah
di dalam!”, serunya sambil mempererat genggaman tangan. Aku hanya tersenyum
kecil, mengusap halus punggung tangannya dengan ibu jariku. Meletakkan tas di
pangkuanku dan merapatkan tubuhku di sampingnya. Di kursi seberang duduk
seorang ibu dan anak kecil, aku menerka itu anaknya yang dari sejak dia duduk
tak sedetikpun berhenti bertanya tentang apa yang ditangkap matanya, mungkin
ini pengalaman pertamanya naik pesawat, aku bisa melihat dari raut keceriaan di
wajahnya, mungkin raut yang sama seperti ketika dia menanti kejutan membuka
kado saat ulang tahun. Melihatnya mimiknya seakan dia ikut meniupkan kebahagian
pada orang yang melihatnya. Jarak 3 kursi di depanku, berdiri seorang bapak
yang masih saja sibuk mengurus koper dan bawaannya, raut mukanya terlihat
tenang tapi beberapa kali kulihat mengerutkan dahi, entah dia merasa kerepotan
atau perjalanan ini memberatkannya.
Ini
kali pertama aku pergi ke luar kota dengannya, dan Bali menjadi tujuan kita.
Lelaki di sampingku ini yang meminta. Aku cukup mengiyakannya, bahkan tanpa
sebelumnya menanyakan kenapa dia memilih Bali. Aku tidak peduli kemana tujuan
kita nantinya, aku hanya peduli melumat habis waktu dan menikmati bersamanya.
Namanya
Gama, dia lebih tua satu tahun dariku, kuliah di universitas yang sama denganku
hanya beda fakultas, Gama di Fakultas Hukum, dan aku Komunikasi. Semuanya
berawal satu tahun lalu, saat seorang sahabatku berulang tahun. Mentraktir teman di hari ulang tahun
sepertinya sudah menjadi kebiasaan anak muda yang entah sejak kapan dan
bagaimana asalnya.
Matchbox
café menjadi pilihannya saat itu, sejujurnya aku tidak lagi suka kafe ini,
terlalu banyak kenangan yang ditinggalkan di setiap sudutnya, bahkan hanya mendengar
atau melihat nama kafe ini pada selebaran atau baliho di jalanan, bayangan
seseorang sudah bisa memenuhi kepalaku dengan mudahnya. Bagaimana tidak, hampir
setiap minggu di hari Rabu aku menghabiskan malam dengan seseorang di sana,
baiklah, mantan.
Tujuannya
hanya untuk menonton live band yang memainkan genre musik favoritnya dan menurutnya
itu adalah keharusan, yang bagiku terkadang berlebihan. Selama dua jam itu kita
hanya diam menghabiskan waktu, menikmati lagu dengan tangan saling menggenggam,
tidak ada obrolan, hanya sesekali bicara untuk memberi tahuku judul lagu yang
sedang dimainkan atau meminta pesanan tambahan pada pelayan. Anehnya, aku juga tidak
pernah bosan walaupun aku tidak begitu mengerti jenis musik country blues
favoritnya, aku justru sibuk menikmati senyuman atau ekspresi mukanya saat
mendengar lagu favoritnya, melihat kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama,
dan hentakan kakinya yang terkadang tanpa sengaja menginjak kakiku. Bagian
favoritku di hari rabu itu adalah ketika mereka memainkan sebuah lagu, Arms of
a woman, dan dia ikut menyanyikan lagu itu dengan selalu menatap mataku. Yang selalu
aku tunggu adalah bisikan lirik terakhir lagu itu , “she takes me back home” di
telingaku, dia menutupnya dengan ciuman lembut di pipiku. Dia bilang lagu itu
seperti apa yang dia bisikan, menunjukku sebagai tempat yang melahirkan
kenyamanan.
I
am at ease in the arms of a woman.
Although now most of my days are spent alone.
A thousand miles from the place I was born.
But when she wakes me she takes me back home.
Although now most of my days are spent alone.
A thousand miles from the place I was born.
But when she wakes me she takes me back home.
Tapi
tepat seminggu sebelum satu tahun kita bersama, dia bilang dia berada di puncak
kejenuhan dan akhirnya pergi meninggalkan. Perempuan lain memanggilnya pergi.
Sejak saat itu aku berhenti menunggunya di depan pintu, tak lagi pula menulis
namanya di dinding hati, melepas satu persatu jendela yang dari sana bisa
kulihat punggungnya berjalan menjauh, memecah kaca yang masih saja memantulkan
bayangannya. Perlahan membuatnya runtuh.
Tapi
malam itu aku terpaksa beradu pada kenangan, akupun tak punya pilihan. Aku hanya meminta
duduk di teras, satu-satunya tempat yang aku pikir tidak terlalu banyak membuncah
perasaan. Lagipula udara malam dan lampu hias yang dipasang di setiap pilar di
luar menarik mataku. Saat itulah aku mengenal Gama, teman SMA sahabatku yang
juga datang merayakan ulang tahunnya. Selama 8 bulan saling mengenal, akhirnya
aku mencoba memberanikan diri kembali untuk membuka hati. Sekali lagi.
“Kamu lihat apa?”, tanyanya
mengagetkanku.
“Eh? Oh lihat hujan di luar”, jawabku
sekenanya, akupun tidak tahu apa yang aku perhatikan di luar jendela.
Aku
merebahkan kepalaku di bahunya, dan tanpa perlu meminta jemarinya mulai bermain
di rambutku. Menikmati waktu dan penerbangan yang juga menerbangkan
harapan-harapanku. Aku juga masih tidak
peduli mau kemana kita hari ini, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengannya.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit dari Surabaya, sampailah di Bandara
Ngurah Rai, Bali. Para penumpang mulai sibuk mengurus barang bawaannya
masing-masing dan mengantri seperti terburu-buru, tidak sabar ingin cepat turun
dan keluar. Akupun, meski aku tidak terburu waktu, tapi entah seperti ada
sesuatu yang mendorongku ingin cepat turun
dari pesawat dan berhambur dengan udara di luar sana.
“Baliiiiiii!”, dia berseru senang dan
mengguncang bahuku gemas saat kaki kita pertama kali memeluk tanah di pulau
seribu pura ini.
“Kamu norak!”
balasku sambil mencolek ujung hidungnya.
“Tapi tetep sayang, kan?”
tanyanya, yang cepat kujawab dengan merebahkan tubuhku ke arahnya, melebur
memeluk belakang pinggangnya. Dan senyum penuh kemenangan dengan cepat menggantung
di bibirnya.
Jam
di tanganku menunjukkan pukul 16:37, berarti pukul 17:37 waktu Bali. Hiruk
pikuk orang-orang mulai sangat terlihat di luar bandara, beberapa orang bergegas berhambur pada pelukan orang yang
sudah menantinya di pintu keluar. Mereka seperti menghabiskan rindu yang selama
ini membabakbelurkan perasaan, memulihkan hati yang selama ini lebam dengan
pelukan. Aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya, melahirkan syukur di dalam
hati, menikmati serangan kenyamanan atas hadirnya.
“Kita gak langsung ke hotel dulu ya, gapapa
kan?, tanyanya begitu merebahkan tubuh di kursi taksi.
“Hmm kemana?”, tanyaku.
“Ke pantai, masih bisa waktunya untuk liat
sunset”,
“Oh sure, I’d love to!”
“I promise you will”,
ucapnya yakin.
“Pak, ke La Plancha Seminyak, ya”,
ujarnya memberi tahu supir taksi kemana tujuan pertama kita di Bali. Aku
sendiri baru kali pertama mendengar namanya, La Plancha, aku hanya menerka kata
itu sepertinya adalah bahasa Spanyol yang aku tidak tahu apa artinya. Entah tempat
apa atau ada apa di sana dan kenapa dia memilihnya, aku tidak membiarkan diriku
menerka lagi, aku pun tidak terlalu peduli, sekali lagi, bersamanya sudah
membuatku tak membutuhkan jawaban lagi.
Butuh
waktu sekitar 30 menit dari bandara menuju La Plancha, setelah turun aku baru
tahu La Plancha adalah sebuah kafe outdoor di sekitar pantai di seputaran
Seminyak. Yang menarik, tempat ini dibuat dari kayu-kayu bekas yang dicat
berwarna-warni, furniture dan hiasan seperti payung yang disusun berderet di
pinggir pantai dan bantal-bantal dengan warna yang juga menyolok mata.
Hari
ini suasananya tidak begitu ramai, bantal-bantal besar di pinggir pantai hanya
terisi sebagian, kebanyakan dari mereka adalah wisatawan mancanegara yang
kulihat tak sedikitpun ada raut keasingan yang tergambar di wajah mereka,
seakan tak peduli bahwa mereka tak berasal dari ranah sini, membaur secara
alami. Selain duduk di bawah payung dengan bantal besar di pinggir pantai, ada
juga teras di lantai dua La Plancha yang agak tertutup rimbunan pohon. Kursi
dan meja kayu yang tertata rapi lengkap dengan bantal yang berwarna-warni. Ada
beberapa pasangan kekasih di atas sana, mereka terlihat saling berbincang dan
bercerita, menikmati hidangan dan riuh tawa berkali-kali hadir diselanya.
“Sayang mau duduk di mana? teras atas atau
pinggir pantai?”
“Pinggir pantai aja ya?”, aku menanyakan
persetujuannya.
“Iya, lebih nyaman sepertinya”, dia
menyetujuinya.
Pada
bantal besar berwarna biru muda aku merebahkan badanku, mengulurkan tanganku
meraih tangannya dan menariknya ke sampingku. Menyusupkan kepalaku di dadanya,
menyelipkan jemari tanganku di antara jemarinya, mengeratkannya memberikan
sensasi nyaman yang mengalir candu ke hati.
Matahari sepertinya sudah siap berpindah
menghangatkan bagian bumi yang lain, menyurutkan cahayanya seperti rela
tertelan di garis tengah samudra.
“Bagus ya, indah”, ucapku terpana.
“Iya, kamu sekarang tau kan gimana rasanya
saat aku tatap mata kamu. Oh bahkan lebih indah”
“Itu cuma karena mataku pintar memantulkan
keindahan yang ada di depanku, kamu”
“Kok kamu pinter gombal sih sekarang,
hmm?”, ujarnya mulai menggelitiki pinggangku.
“Iyaa, ampun. Geli!”,
aku menarik tangannya, melingkarkannya pada tubuhku, memelukku.
Bibirnya
perlahan menyentuh bibirku, aku diam, perlahan memejamkan mata, menikmati
getaran yang timbul menggerayangi hati. Membalas kecupannya dengan perlahan,
menarik bibirnya dan mengulum lembut. Tidak lagi ada jarak, denyut jantungku
kalut berantakan, kurasa rindu-rindu di dalam saling bertabrakan. Menggerayangi
setiap titik cinta yang memanjakan rasa, menikmati senja yang memanjakan mata.
Di La Plancha.
La
Plancha, September 27
I don't wanna say "I love you", until...
Time is ticking too slow.
Or am I the only one who actually can’t wait?. Two hours to go until I meet you. I hate flight, I hate for staying a long time in a plane, but dear, now I’m doing it for you.
This plane started to take off.
I remember you said, “Just don’t be afraid and pretend like you’re a bird. You’ll enjoy it. Trust me”.
I can hear the plane’s engine. The louder it gets, the faster for my heartbeats. Oh dear, I just can’t wait to see you.
A two hour trip seems so long for me. And a week of apprehensive feelings leading up to when we meet. And you wouldn’t understand this feeling, or maybe you do feel the same way?
I close my eyes for a moment. It seems scary for me since its my first time flight. Oh it would be better to think of you.
“Okay close your eyes for a moment, counting to 15, and then open it slowly. Look at the window and see, there’s a miracle in the middle of the sky”. You told me that yesterday.
Should I believe you? should I open my eyes now?. Okay, I believe you, like always do.
“Wow!”, I’m shouting to myself. What a wonderful feeling for seeing the clouds in the middle of the sky, at thousand feets. I began to understand something. I love it. And thank you.
I’m checking back the ticket for the boarding time.
19:30. So its 1 hour and 27 minutes left.
I remember what you said yesterday. You said that we’ve been separated for six months. We were best friends before, and now we’re a couple. So it will be the first time we meet as a lovers.
And you said that you can’t wait for this moment. Also asked if I felt the same?.
I answered “No”. I lied.
You know that I like to lie about my feelings for you. I feel shy for showing them. And I hate you for making me blush every time you ask what I feel about you. I have to admit that you’re pretty smart know how to make me fall for you more. Ah dear, even just by thinking of you has made my heart beat faster. And I couldn’t ask for more when my best friend became a part of my heart.
One hour for thinking about what will happen when I finally meet you.
Do I have to be shy? or do I have to show you the way I am, with all I have and feel inside about you?
One hour for arranging the words that I should say to you. Should I make a list or just write what’s on my mind?
I guess not. I bet you will understand me, even without me having to say something. Just like when you said that seeing my eyes was more than enough for you to read my mind, more than enough for you to know what I feel about you. Well, then you must know how much I love you.
I’m smiling here, remembering about that I-love-you thing. Clearly shows in my mind that I always reply “Yes, thank you” for every time you say “I love you”
“Why don’t you just reply “I love you too” to me? even just once. Would you please do me a favor to make me happy with that? I believe I would be over the moon if I hear you say that. I’m begging you.” You begged me for “I love you”
“No, I don’t wanna say “I love you”, until I meet you”, I replied. Oh dear, how I wish I could let you know how ward I tried to force myself not to say that.
But deep down inside my heart I replied for you. Yes, I love you too. :)
Oh dear, this plane shaking strongly. Lot of bumps and a couple of screaming noises from passengers. I can see the board staffs look worried. One of them said maybe less than 5 minutes this plane is going to crash.
God!
I close my eyes, I give up for everything to God.
But dear, I’m regret of something.
Regret for not letting you hear me saying “I love you”.
I should’ve said it a million times before. No matter I meet you or not.
I’m sorry, but I do love you.
I’m not regret for what’s happening. So, please don’t blame yourself if you find me nowhere in this world. I know you’ll be sad for it but just don’t make it last.
I promise when I meet you in heaven. The first thing I would say is “I love you” without you ask me to.
Let me live in your memory and dear, I die for you.
I love you.
Sunday, February 17, 2013
Dan jika...
Jika aku punya kursi nyaman untuk bersandar dan secangkir kopi untuk berbagi.
Maukah kamu menemani hingga senja mulai menepi?
Jika aku punya serpihan hati, berserakan tak menentu.
Maukah kamu menatanya lembut dengan caramu?
Jika aku punya sejuta cerita untuk kubagi, namun tidak hari ini ataupun saat yang pasti.
Maukah kamu tetap menunggu untukku?
Jika aku tak punya banyak waktu, namun yang aku mau hanya satu, denganmu.
Maukah kamu berlari untukku?
Saturday, February 2, 2013
how we...
how we walked down the street with no direction.
how we held each other's hand tightly.
how we easily laughed for those silly reasons.
how i missed you even you were next to me.
how we fought just to get closer by then.
how many stories we shared to get down deeper our heart.
how you were rubbing my back to make me comfort.
how our eyes accidentally met and blushed our cheeks.
how we spent our times doing nothing.
how we always had uncountable reasons to share.
how pleasure i am to have those moment with you.
oh how i loved you wholeheartedly.
Subscribe to:
Posts (Atom)