Aku
baru selesai memasang sabuk pengaman dan menyamankan posisi duduk di kursi
pesawat saat bulir hujan mulai jatuh di luar.
“Wah hujan! untung saja kita udah
di dalam!”, serunya sambil mempererat genggaman tangan. Aku hanya tersenyum
kecil, mengusap halus punggung tangannya dengan ibu jariku. Meletakkan tas di
pangkuanku dan merapatkan tubuhku di sampingnya. Di kursi seberang duduk
seorang ibu dan anak kecil, aku menerka itu anaknya yang dari sejak dia duduk
tak sedetikpun berhenti bertanya tentang apa yang ditangkap matanya, mungkin
ini pengalaman pertamanya naik pesawat, aku bisa melihat dari raut keceriaan di
wajahnya, mungkin raut yang sama seperti ketika dia menanti kejutan membuka
kado saat ulang tahun. Melihatnya mimiknya seakan dia ikut meniupkan kebahagian
pada orang yang melihatnya. Jarak 3 kursi di depanku, berdiri seorang bapak
yang masih saja sibuk mengurus koper dan bawaannya, raut mukanya terlihat
tenang tapi beberapa kali kulihat mengerutkan dahi, entah dia merasa kerepotan
atau perjalanan ini memberatkannya.
Ini
kali pertama aku pergi ke luar kota dengannya, dan Bali menjadi tujuan kita.
Lelaki di sampingku ini yang meminta. Aku cukup mengiyakannya, bahkan tanpa
sebelumnya menanyakan kenapa dia memilih Bali. Aku tidak peduli kemana tujuan
kita nantinya, aku hanya peduli melumat habis waktu dan menikmati bersamanya.
Namanya
Gama, dia lebih tua satu tahun dariku, kuliah di universitas yang sama denganku
hanya beda fakultas, Gama di Fakultas Hukum, dan aku Komunikasi. Semuanya
berawal satu tahun lalu, saat seorang sahabatku berulang tahun. Mentraktir teman di hari ulang tahun
sepertinya sudah menjadi kebiasaan anak muda yang entah sejak kapan dan
bagaimana asalnya.
Matchbox
café menjadi pilihannya saat itu, sejujurnya aku tidak lagi suka kafe ini,
terlalu banyak kenangan yang ditinggalkan di setiap sudutnya, bahkan hanya mendengar
atau melihat nama kafe ini pada selebaran atau baliho di jalanan, bayangan
seseorang sudah bisa memenuhi kepalaku dengan mudahnya. Bagaimana tidak, hampir
setiap minggu di hari Rabu aku menghabiskan malam dengan seseorang di sana,
baiklah, mantan.
Tujuannya
hanya untuk menonton live band yang memainkan genre musik favoritnya dan menurutnya
itu adalah keharusan, yang bagiku terkadang berlebihan. Selama dua jam itu kita
hanya diam menghabiskan waktu, menikmati lagu dengan tangan saling menggenggam,
tidak ada obrolan, hanya sesekali bicara untuk memberi tahuku judul lagu yang
sedang dimainkan atau meminta pesanan tambahan pada pelayan. Anehnya, aku juga tidak
pernah bosan walaupun aku tidak begitu mengerti jenis musik country blues
favoritnya, aku justru sibuk menikmati senyuman atau ekspresi mukanya saat
mendengar lagu favoritnya, melihat kepalanya bergoyang-goyang mengikuti irama,
dan hentakan kakinya yang terkadang tanpa sengaja menginjak kakiku. Bagian
favoritku di hari rabu itu adalah ketika mereka memainkan sebuah lagu, Arms of
a woman, dan dia ikut menyanyikan lagu itu dengan selalu menatap mataku. Yang selalu
aku tunggu adalah bisikan lirik terakhir lagu itu , “she takes me back home” di
telingaku, dia menutupnya dengan ciuman lembut di pipiku. Dia bilang lagu itu
seperti apa yang dia bisikan, menunjukku sebagai tempat yang melahirkan
kenyamanan.
I
am at ease in the arms of a woman.
Although now most of my days are spent alone.
A thousand miles from the place I was born.
But when she wakes me she takes me back home.
Tapi
tepat seminggu sebelum satu tahun kita bersama, dia bilang dia berada di puncak
kejenuhan dan akhirnya pergi meninggalkan. Perempuan lain memanggilnya pergi.
Sejak saat itu aku berhenti menunggunya di depan pintu, tak lagi pula menulis
namanya di dinding hati, melepas satu persatu jendela yang dari sana bisa
kulihat punggungnya berjalan menjauh, memecah kaca yang masih saja memantulkan
bayangannya. Perlahan membuatnya runtuh.
Tapi
malam itu aku terpaksa beradu pada kenangan, akupun tak punya pilihan. Aku hanya meminta
duduk di teras, satu-satunya tempat yang aku pikir tidak terlalu banyak membuncah
perasaan. Lagipula udara malam dan lampu hias yang dipasang di setiap pilar di
luar menarik mataku. Saat itulah aku mengenal Gama, teman SMA sahabatku yang
juga datang merayakan ulang tahunnya. Selama 8 bulan saling mengenal, akhirnya
aku mencoba memberanikan diri kembali untuk membuka hati. Sekali lagi.
“Kamu lihat apa?”, tanyanya
mengagetkanku.
“Eh? Oh lihat hujan di luar”, jawabku
sekenanya, akupun tidak tahu apa yang aku perhatikan di luar jendela.
Aku
merebahkan kepalaku di bahunya, dan tanpa perlu meminta jemarinya mulai bermain
di rambutku. Menikmati waktu dan penerbangan yang juga menerbangkan
harapan-harapanku. Aku juga masih tidak
peduli mau kemana kita hari ini, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengannya.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit dari Surabaya, sampailah di Bandara
Ngurah Rai, Bali. Para penumpang mulai sibuk mengurus barang bawaannya
masing-masing dan mengantri seperti terburu-buru, tidak sabar ingin cepat turun
dan keluar. Akupun, meski aku tidak terburu waktu, tapi entah seperti ada
sesuatu yang mendorongku ingin cepat turun
dari pesawat dan berhambur dengan udara di luar sana.
“Baliiiiiii!”, dia berseru senang dan
mengguncang bahuku gemas saat kaki kita pertama kali memeluk tanah di pulau
seribu pura ini.
“Kamu norak!”
balasku sambil mencolek ujung hidungnya.
“Tapi tetep sayang, kan?”
tanyanya, yang cepat kujawab dengan merebahkan tubuhku ke arahnya, melebur
memeluk belakang pinggangnya. Dan senyum penuh kemenangan dengan cepat menggantung
di bibirnya.
Jam
di tanganku menunjukkan pukul 16:37, berarti pukul 17:37 waktu Bali. Hiruk
pikuk orang-orang mulai sangat terlihat di luar bandara, beberapa orang bergegas berhambur pada pelukan orang yang
sudah menantinya di pintu keluar. Mereka seperti menghabiskan rindu yang selama
ini membabakbelurkan perasaan, memulihkan hati yang selama ini lebam dengan
pelukan. Aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya, melahirkan syukur di dalam
hati, menikmati serangan kenyamanan atas hadirnya.
“Kita gak langsung ke hotel dulu ya, gapapa
kan?, tanyanya begitu merebahkan tubuh di kursi taksi.
“Hmm kemana?”, tanyaku.
“Ke pantai, masih bisa waktunya untuk liat
sunset”,
“Oh sure, I’d love to!”
“I promise you will”,
ucapnya yakin.
“Pak, ke La Plancha Seminyak, ya”,
ujarnya memberi tahu supir taksi kemana tujuan pertama kita di Bali. Aku
sendiri baru kali pertama mendengar namanya, La Plancha, aku hanya menerka kata
itu sepertinya adalah bahasa Spanyol yang aku tidak tahu apa artinya. Entah tempat
apa atau ada apa di sana dan kenapa dia memilihnya, aku tidak membiarkan diriku
menerka lagi, aku pun tidak terlalu peduli, sekali lagi, bersamanya sudah
membuatku tak membutuhkan jawaban lagi.
Butuh
waktu sekitar 30 menit dari bandara menuju La Plancha, setelah turun aku baru
tahu La Plancha adalah sebuah kafe outdoor di sekitar pantai di seputaran
Seminyak. Yang menarik, tempat ini dibuat dari kayu-kayu bekas yang dicat
berwarna-warni, furniture dan hiasan seperti payung yang disusun berderet di
pinggir pantai dan bantal-bantal dengan warna yang juga menyolok mata.
Hari
ini suasananya tidak begitu ramai, bantal-bantal besar di pinggir pantai hanya
terisi sebagian, kebanyakan dari mereka adalah wisatawan mancanegara yang
kulihat tak sedikitpun ada raut keasingan yang tergambar di wajah mereka,
seakan tak peduli bahwa mereka tak berasal dari ranah sini, membaur secara
alami. Selain duduk di bawah payung dengan bantal besar di pinggir pantai, ada
juga teras di lantai dua La Plancha yang agak tertutup rimbunan pohon. Kursi
dan meja kayu yang tertata rapi lengkap dengan bantal yang berwarna-warni. Ada
beberapa pasangan kekasih di atas sana, mereka terlihat saling berbincang dan
bercerita, menikmati hidangan dan riuh tawa berkali-kali hadir diselanya.
“Sayang mau duduk di mana? teras atas atau
pinggir pantai?”
“Pinggir pantai aja ya?”, aku menanyakan
persetujuannya.
“Iya, lebih nyaman sepertinya”, dia
menyetujuinya.
Pada
bantal besar berwarna biru muda aku merebahkan badanku, mengulurkan tanganku
meraih tangannya dan menariknya ke sampingku. Menyusupkan kepalaku di dadanya,
menyelipkan jemari tanganku di antara jemarinya, mengeratkannya memberikan
sensasi nyaman yang mengalir candu ke hati.
Matahari sepertinya sudah siap berpindah
menghangatkan bagian bumi yang lain, menyurutkan cahayanya seperti rela
tertelan di garis tengah samudra.
“Bagus ya, indah”, ucapku terpana.
“Iya, kamu sekarang tau kan gimana rasanya
saat aku tatap mata kamu. Oh bahkan lebih indah”
“Itu cuma karena mataku pintar memantulkan
keindahan yang ada di depanku, kamu”
“Kok kamu pinter gombal sih sekarang,
hmm?”, ujarnya mulai menggelitiki pinggangku.
“Iyaa, ampun. Geli!”,
aku menarik tangannya, melingkarkannya pada tubuhku, memelukku.
Bibirnya
perlahan menyentuh bibirku, aku diam, perlahan memejamkan mata, menikmati
getaran yang timbul menggerayangi hati. Membalas kecupannya dengan perlahan,
menarik bibirnya dan mengulum lembut. Tidak lagi ada jarak, denyut jantungku
kalut berantakan, kurasa rindu-rindu di dalam saling bertabrakan. Menggerayangi
setiap titik cinta yang memanjakan rasa, menikmati senja yang memanjakan mata.
Di La Plancha.
La
Plancha, September 27